Jumat, 01 Oktober 2010

Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan

Memang dalam al Qur’an banyak dibahas masalah akidah, tentang keimanan dan 
panjang lebar diuraikan contoh proses keimanan yang dilakukan nabi Ibrahim as . 
Oleh sebab itu nabi Ibrahim as dikenal sebagai nabi aqidah, karena dalam 
perjalanan spiritualnya Ibrahim mengalami proses yang sangat dinamis dan juga 
sangat mendasar.
   
  Seperti dijelaskan dalam surat Al Anbiyaa ayat  50-70. Dalam ayat itu 
dikisahkan proses nabi Ibrahim membangun kesadaran masyarakatnya bahwa patung 
(berhala) bukan Tuhan yang sesungguhnya, karena patung itu tidak bisa 
memberikan pertolongan, bahkan Ibrahim menunjukkan eksperimennya, dia hancurkan 
patung-patung itu  untuk membuktikan bahwa patung itu memang bukan Tuhan .
   
  Kemudian dalam surat Al An’am ayat 74-79. Di ayat itu diterangkan bagaimana 
Ibrahim mencari Tuhan dengan pendekatan yang jujur dan rasional, sehingga 
datang gelap malam tak ada satu pun manusia yang berkutik, tidak ada yang 
memiliki kekuasaan lagi, semua kehidupan terhenti ketika datang gelap malam. 
Kesimpulannya manusia dan alam semesta ini ditaklukkan oleh gelap malam dan 
pada saat gelap itu nabi Ibrahim melihat sebuah bintang dan dia berkata inilah 
Tuhanku, tetapi bintang yang dipertuhankan itu lama kelamaan sirna. Dan Ibrahim 
melihat alternatif lain, ada bulan, inilah Tuhanku tapi bulan juga sirna .
   
  Apa yang terjadi pada nabi Ibrahim? Ternyata dia gagal mencari Tuhannya. Dia 
gagal mencapai Tuhannya, dia tidak bisa meraih Tuhannya dengan indranya  dengan 
 matanya, telinganya, tangannya  bahkan dengan fikirannyapun dia mencoba 
membayangkan macam apa wujud Tuhan, Ibrahim gagal. 
   
  Rupanya memang Allah itu Al Ghaib, suatu yang misterius dan Ibrahim memang 
gagal mencapai Tuhannya dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Tetapi untuk 
mengatakan bahwa Tuhan itu tak ada, justru pengalaman Ibrahim selama ini 
mengarahkan pada kesimpulan, mesti ada sesuatu yang mengendalikan alam ini, 
Tuhan itu mesti ada. Tapi yang mana?  Akhirnya nabi Ibrahim  bersikap  
sebagaimana terungkap dalam Q S. 6 : 79.
   
  Tapi dari situ Ibrahim hanya bisa mengetahui bahwa Dia, Tuhan itu tetap Gaib. 
Oleh sebab itu siapa Dia, sebagai zat dalam al qur’an juga tidak dikenal. 
Istilah istilah keTuhanan dalam alqur’an , hanya nama- nama yang menjelaskan 
sifatnya saja, zatnya tidak diperkenalkan (Asmaul Husna 99). 
   
  Kemudian ada lagi 2 nama yang  menjelaskan tentang Dia, tapi menjelaskan 
tentang kedudukannya saja, Rabbun dan Ilaahun. Rabbun artinya pemilik dan 
penguasa, pendidik, pemelihara, pengendali, yang menjelaskan kedudukan dan 
Ilahun berasal dari kata Laha dan Ilaha yang berarti sesuatu yang abdi, yang 
dicintai, yang dikejar, yang diingini, yang didamba, yang diharap. 
   
  Jadi zat itu sendiri apa disebutnya? Memang ada satu istilah yang dalam 
Al-Qur’an yang banyak dipakai yaitu Allah sebagai nama zat. Allah itu selain 
sebagai Tuhan alam semesta, dalam Al-Qur’an dijelaskan pula sebagai sifat dan 
kedudukanNya, sebagian lagi ada ulama yang menjelaskan, ada lagi nama yang 
menjelaskan sebagai isim yaitu Allah. Tapi soal ini sebagian ulama ada 
perbedaan pendapat.
   
  Pertama dari sejarah, kalau dilihat kamus lisanul Arab, istilah Allah itu 
berasal dari Ilah, yang dicintai, yang diagungkan, yang dijadikan tempat 
bergantung. Jika demikian apapun bisa menjadi Ilah; yang dicintai, yang 
dikejar, yang didamba, segala yang diingin dan diharap itu namanya Ilah. Tetapi 
apakah yang segala diharap itu menjadi Tuhan alam semesta? Ya tentu tidak.
   
  Jadi ada Ilah subyektif, manusia yang menginginkan, manusia yang mendambakan, 
manusia yang mengejar, maka sesuatu yang dikejar oleh manusia itu jadi Ilah 
bagi manusia itu sendiri. Tapi apakah arti Ilah dalam arti sesungguhnya? 
   
  Belum tentu secara obyektif. Oleh sebab itu Ilah itu bisa menjadi banyak, 
jama’nya adalah Alihah, dia bisa berupa benda-benda, orang atau  ambisi jadi 
Ilah. Sehingga di kalangan bangsa Arab ada Ilah yang dikejar oleh manusia tapi 
fiktif, sekedar sesuatu yang diinginkan manusia saja, dicintai, dikejar, 
didamba manusia. Tapi ada Ilah yang sesungguhnya, memang Dialah yang diinginkan 
dan dikejar oleh manusia dan penguasa alam semesta. Ilah dalam arti 
sesungguhnya itu dalam bahasa Arab mendapat awalan alif lam, jadi Al-Ilah itu 
Allahu (dalam pengucapan) lam diidghomkan.
   
  Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Ilah itu isim jamad, nama dari zat Tuhan 
alam semesta ini. Tapi sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ini bukan nama  zat 
Tuhan,  karena Allah berasal dari kata Ilah, sedangkan Ilah dan Robb hanya 
menjelaskan kedudukan. 
   
  Jadi arti Allah itu sesuatu yang sebenar-benarnya dicintai, dikejar, didamba. 
jika itu yang dipakai,  nama sifatnyau ada, nama kedudukannya ada, Ilah dan 
Robb, lalu  terbentuk kata Allah (Tuhan). Lalu nama zat mana? 
  Sebagian ulama mengatakan nama zat tidak ada. Kenapa? Karena penamaan sesuatu 
berarti pembatasan.
   
  Sebuah pena akan menjadi pena ditangan saya, jika bentuknya begitu dan 
fungsinya begitu, tapi pena sudah tergiling mesin giling, hancur, dia sudah 
tidak disebut pena, sudah berubah bentuk, warna dan zat. Sedangkan zat Allah 
Maha Tidak terbatas. Zat Allah tidak ada yang pernah mengenali, sesuatu yang 
tidak terhenti, terbatasi. Mana bisa dinamai, jika dinamakan berarti membatasi.
   
  Dalam ilmu Keimanan, maka Dia Yang Maha Kuasa, Tuhan alam semesta hanya bisa 
kita kenal:
1. Sifat-sifatnya saja
2. Kedudukannya saja, statusnya sebagai ilah dan robb
3. Soal nama zat, sebagian ulama mengatakan tidak ada nama zat, sehingga dalam 
mengenali Dia, ada sebuah istilah dinamakan Huwa, Dia, Hu.
   
  Istilah Allah sebenarnya sudah digunakan orang Arab sebelum turunnya 
Al-Qur’an. Ayah Nabi Muhammad namanya Abdullah (artinya hamba Allah). Jadi 
orang Arab Quraisy itu sudah mengenal istilah Allah.
  Tapi Allah itu bagaimana menurut orang Quraisy? Allah itu artinya ilah, 
sebenar-benar ilah. Tuhan alam semesta, yang Dia adalah bapak dari 3 orang dewa 
wanita (perempuan) yang disimbolkan dalam bentuk patung Latta, Uzza, Manna yang 
disembah itu. Lalu turunlah ajaran Islam dengan surat Al-Ikhlas. Surat itu 
bukan untuk mengcounter Trinitasnya Kristen, tapi untuk mengcounter konsep 
Trinitasnya Quraisy.
   
  Kelebihan manusia itu mampu memilih. Kesadaran intelektualnya, kesadaran 
moralnya meyebabkan manusia bisa memilih. Dengan naluri ber-Tuhan itu 
kadang-kadang diarahkan pada bukan Tuhan yang sesungguhnya, belum lagi selain 
itu ada unsur hawa (kecenderungan-kecenderungan, keinginan-keinginan). 
Keinginan-keinginan itu bisa membentuk manusia sehingga tidak ber-Tuhan kepada 
yang sebenar-benarnya Tuhan. Tetapi Tuhan yang secara adhoc (secara singkat) 
nampak memberikan pertolongan, memberi manfaat.
   
  Misalnya pertolongan Tuhan tidak terlihat secara langsung. Sementara jika 
punya uang, pertolongan uang itu bisa jelas dan langsung kelihatan, maka orang 
sering terpeleset lalu memper-ilah uang, memper-ilah materi, memper-ilah 
pejabat yang punya kekuasaan. namun secara hakekat, secara substansial apakah 
betul uang itu memberikan daya tolong yang efektif? Sebenarnya tidak. 
   
  Ternyata naluri ber-Tuhan terkalahkan oleh kecenderungan-kecenderungan 
rendahnya yang sesaat, kepentingan sesaat. 
 
Fathur.